mrbacara.com, 24 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Stoikisme adalah filsafat kuno yang didirikan di Athena oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Filsafat ini mengajarkan cara menjalani kehidupan yang bermakna dan tenang dengan fokus pada kebajikan, pengendalian diri, dan penerimaan terhadap hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Dalam dunia modern yang penuh dengan tekanan, kecemasan, dan distraksi, Stoikisme menawarkan panduan praktis untuk “menguasai seni tidak peduli” (detachment) dan “melepaskan” (letting go) apa yang tidak relevan atau di luar kendali kita. Dengan prinsip-prinsip seperti amor fati (mencintai takdir), memento mori (ingat kematian), dan dichotomoy of control (pemisahan kendali), Stoikisme membantu individu mencapai ketenangan batin dan kebebasan emosional.
Artikel ini mengulas prinsip-prinsip Stoik untuk menguasai seni tidak peduli dan melepaskan, menjelaskan konsep-konsep inti Stoikisme, tokoh-tokoh utama seperti Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus, serta penerapan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Informasi bersumber dari teks asli seperti Meditations karya Marcus Aurelius, Letters from a Stoic karya Seneca, dan Enchiridion karya Epictetus, serta sumber modern seperti The School of Life, Daily Stoic, dan artikel akademik. Posting di X juga digunakan untuk menangkap perspektif kontemporer tentang Stoikisme, memastikan relevansi dengan tantangan masa kini.
Apa Itu Stoikisme?
Stoikisme adalah filsafat praktis yang bertujuan membantu individu mencapai eudaimonia, yaitu kehidupan yang berkembang dan bermakna. Berbeda dengan stereotip modern yang menganggap Stoik sme sebagai sikap apatis atau tidak emosional, Stoikisme sebenarnya mengajarkan bagaimana mengelola emosi dengan bijaksana, fokus pada apa yang dapat dikendalikan, dan menerima apa yang tidak dapat diubah. Stoikisme menekankan empat kebajikan utama:
-
Kebijaksanaan (Wisdom): Kemampuan untuk membuat keputusan yang rasional dan memahami dunia.
-
Keberanian (Courage): Keteguhan hati untuk menghadapi ketakutan dan tantangan.
-
Keadilan (Justice): Bertindak dengan kejujuran dan kebaikan terhadap orang lain.
-
Pengendalian Diri (Temperance): Mengendalikan keinginan dan impuls untuk mencapai keseimbangan.
Tokoh-tokoh Stoik utama meliputi:
-
Epictetus (55–135 M): Seorang budak yang menjadi filsuf, mengajarkan bahwa kebahagiaan bergantung pada persepsi dan sikap kita, bukan keadaan eksternal (Enchiridion).
-
Seneca (4 SM–65 M): Penulis dan penasihat Nero, menekankan pentingnya refleksi diri dan pengelolaan waktu (Letters from a Stoic).
-
Marcus Aurelius (121–180 M): Kaisar Romawi yang menulis Meditations, sebuah jurnal pribadi tentang bagaimana menjalani kehidupan yang bermakna di tengah tekanan kekaisaran.
Stoikisme telah mengalami kebangkitan di era modern, didorong oleh buku seperti The Obstacle Is the Way karya Ryan Holiday dan popularitas Stoikisme di kalangan profesional, atlet, dan pemimpin bisnis. Prinsip-prinsipnya sangat relevan untuk mengatasi kecemasan, stres, dan ketidakpastian di dunia yang serba cepat.
Prinsip Stoik untuk Menguasai Seni Tidak Peduli dan Melepaskan
Berikut adalah prinsip-prinsip Stoik utama yang membantu individu menguasai seni tidak peduli (detachment dari hal-hal yang tidak penting) dan melepaskan (letting go dari hal-hal di luar kendali):
1. Dichotomy of Control (Pemisahan Kendali) 
Konsep: Salah satu prinsip inti Stoikisme, yang dikembangkan oleh Epictetus, adalah memisahkan apa yang dapat kita kendalikan (pikiran, tindakan, sikap) dari apa yang tidak dapat kita kendalikan (pendapat orang lain, cuaca, hasil tertentu). Dengan fokus hanya pada yang dapat dikendalikan, kita bisa melepaskan kecemasan tentang hal-hal eksternal.
Kutipan: “Ada hal-hal yang berada dalam kuasa kita, dan ada pula yang tidak. Dalam kuasa kita adalah opini, motivasi, keinginan, dan tindakan kita; di luar kuasa kita adalah tubuh, harta, reputasi, dan jabatan.” —Epictetus, Enchiridion.
Penerapan Praktis:
-
Identifikasi Kendali: Ketika menghadapi masalah, tanyakan, “Apa yang bisa saya kendalikan di sini?” Misalnya, jika seseorang mengkritik Anda, Anda tidak bisa mengendalikan kritik mereka, tetapi Anda bisa mengendalikan respons Anda (tetap tenang, refleksi diri).
-
Fokus pada Usaha, Bukan Hasil: Dalam pekerjaan atau hubungan, lakukan yang terbaik (usaha), tetapi lepaskan keterikatan pada hasil (promosi, persetujuan orang lain).
-
Jurnal Reflektif: Tulis setiap malam tentang situasi yang mengganggu Anda, pisahkan apa yang bisa dan tidak bisa dikendalikan, lalu buat rencana untuk bertindak hanya pada yang pertama.
Fakta Menarik: Menurut Daily Stoic, prinsip ini populer di kalangan atlet seperti Michael Jordan, yang fokus pada latihan dan performa mereka, bukan skor akhir pertandingan.
2. Amor Fati (Mencintai Takdir) 
Konsep: Amor fati, atau “cinta pada takdir,” mengajarkan untuk menerima dan bahkan merangkul semua yang terjadi dalam hidup, baik atau buruk, sebagai bagian dari perjalanan yang bermakna. Ini bukan sekadar penerimaan pasif, tetapi sikap aktif untuk melihat setiap kejadian sebagai peluang untuk tumbuh.
Kutipan: “Jangan berharap segalanya berjalan seperti yang kamu inginkan, tetapi inginkan segalanya sebagaimana adanya, dan kamu akan menemukan kedamaian.” —Marcus Aurelius, Meditations.
Penerapan Praktis:
-
Reframing Negatif: Ketika menghadapi kegagalan (misalnya, kehilangan pekerjaan), lihat sebagai kesempatan untuk belajar atau menemukan jalan baru. Tanyakan, “Apa yang bisa saya pelajari dari ini?”
-
Latihan Visualisasi: Bayangkan skenario terburuk (misalnya, ditolak dalam wawancara) dan latih diri untuk menerimanya dengan tenang, sehingga Anda siap menghadapi hasil apa pun.
-
Syukuri yang Ada: Mulai hari dengan menuliskan tiga hal yang Anda syukuri, termasuk tantangan, karena mereka membentuk karakter Anda.
Fakta Menarik: Friedrich Nietzsche, yang terinspirasi oleh Stoikisme, mempopulerkan amor fati dalam Thus Spoke Zarathustra, menyebutnya sebagai “formula untuk kebesaran manusia.”
3. Memento Mori (Ingat Kematian) 
Konsep: Memento mori mengingatkan kita bahwa kematian tidak bisa dihindari, mendorong kita untuk fokus pada apa yang benar-benar penting dan melepaskan hal-hal sepele seperti ego, dendam, atau kekhawatiran tentang opini orang lain. Dengan menyadari keterbatasan waktu, kita belajar untuk hidup lebih penuh di saat ini.
Kutipan: “Kamu bisa meninggalkan hidup sekarang. Biarkan itu menentukan apa yang kamu lakukan, katakan, dan pikirkan.” —Marcus Aurelius, Meditations.
Penerapan Praktis:
-
Refleksi Harian: Luangkan waktu setiap hari untuk merenungkan kematian, misalnya dengan meditasi singkat: “Hari ini bisa jadi hari terakhir saya; apa yang ingin saya lakukan dengan bermakna?”
-
Prioritaskan Kebajikan: Ketika membuat keputusan, tanyakan, “Jika ini adalah hari terakhir saya, apakah saya akan peduli dengan hal ini?” Ini membantu Anda mengabaikan drama kecil atau konflik tidak penting.
-
Latihan Gratitude: Tulis surat untuk orang-orang tersayang atau lakukan tindakan kecil yang bermakna setiap hari, seolah itu adalah kesempatan terakhir Anda.
Fakta Menarik: Posting di X pada April 2025 menyebutkan bahwa memento mori digunakan oleh CEO teknologi untuk fokus pada proyek-proyek besar, mengabaikan kritik media sosial yang tidak relevan.
4. Negative Visualization (Premeditatio Malorum) 
Konsep: Premeditatio malorum adalah latihan mental untuk membayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi, sehingga kita siap secara emosional dan tidak terkejut oleh kemunduran. Ini membantu kita melepaskan ketakutan akan kegagalan dan mengurangi keterikatan pada hasil tertentu.
Kutipan: “Mulailah setiap hari dengan mengatakan pada diri sendiri: Saya akan bertemu dengan orang-orang yang mengganggu, tidak tahu terima kasih, atau arogan. Mereka tidak akan memengaruhi saya, karena saya telah mempersiapkan diri.” —Seneca, Letters from a Stoic.
Penerapan Praktis:
-
Latihan Pagi: Setiap pagi, luangkan 5 menit untuk membayangkan potensi masalah hari itu (misalnya, kemacetan, pertengkaran dengan rekan kerja) dan visualisasikan respons yang tenang.
-
Persiapan Psikologis: Sebelum presentasi atau acara penting, bayangkan kegagalan (misalnya, teknologi gagal) dan rencanakan respons Anda (tetap profesional, improvisasi).
-
Kurangi Ekspektasi: Latih diri untuk tidak terlalu bergantung pada hasil ideal, misalnya dengan berkata, “Saya akan melakukan yang terbaik, tetapi hasilnya bukan sepenuhnya milik saya.”
Fakta Menarik: Menurut The School of Life, latihan ini mirip dengan teknik CBT (Cognitive Behavioral Therapy) modern, yang membantu mengelola kecemasan dengan mengantisipasi tantangan.
5. Voluntary Discomfort (Ketidaknyamanan Sukarela) 
Konsep: Stoikisme mendorong kita untuk secara sengaja menghadapi ketidaknyamanan kecil untuk membangun ketahanan mental dan mengurangi ketergantungan pada kenyamanan material atau eksternal. Ini membantu kita tidak peduli pada hal-hal yang tidak esensial, seperti kemewahan atau validasi sosial.
Kutipan: “Batasi diri pada hal-hal sederhana, seperti yang dilakukan oleh orang miskin, untuk melatih ketahanan dan memahami apa yang benar-benar cukup.” —Seneca, Letters from a Stoic.
Penerapan Praktis:
-
Puasa Intermiten: Cobalah berpuasa selama beberapa jam atau sehari untuk menghargai makanan dan mengurangi ketergantungan pada keinginan fisik.
-
Latihan Fisik: Lakukan aktivitas yang menantang, seperti mandi air dingin atau berjalan tanpa sepatu, untuk melatih ketahanan fisik dan mental.
-
Kurangi Media Sosial: Luangkan waktu sehari tanpa media sosial untuk mengurangi keterikatan pada validasi online dan fokus pada refleksi diri.
Fakta Menarik: Atlet seperti David Goggins, yang terinspirasi oleh Stoikisme, menggunakan ketidaknyamanan sukarela untuk membangun ketangguhan mental, seperti berlari ultra-maraton dalam kondisi ekstrem.
6. Practice of Virtue (Berlatih Kebajikan)
Konsep: Stoikisme menekankan bahwa kebahagiaan sejati datang dari menjalani kehidupan yang selaras dengan kebajikan (kebijaksanaan, keberanian, keadilan, pengendalian diri). Dengan fokus pada kebajikan, kita bisa melepaskan keterikatan pada hal-hal eksternal seperti kekayaan, ketenaran, atau kesenangan sementara.
Kutipan: “Jika kamu ingin bebas, jangan menginginkan apa pun kecuali kebajikan, dan jangan takut pada apa pun kecuali kejahatan.” —Epictetus, Discourses.
Penerapan Praktis:
-
Tindakan Kecil: Lakukan satu tindakan kebaikan setiap hari, seperti membantu rekan kerja atau mendengarkan teman dengan penuh perhatian, untuk melatih keadilan.
-
Refleksi Malam: Sebelum tidur, tanyakan, “Apa yang saya lakukan hari ini yang selaras dengan kebajikan? Apa yang bisa saya perbaiki?”
-
Hindari Gosip: Ketika tergoda untuk bergosip atau mengeluh, alihkan percakapan ke topik yang membangun, melatih pengendalian diri dan kebijaksanaan.
Fakta Menarik: Marcus Aurelius sering menulis tentang pentingnya “melakukan tugas kecil dengan penuh integritas,” seperti menjalankan pemerintahan Romawi dengan keadilan meskipun menghadapi tekanan politik.
Mengapa Menguasai Seni Tidak Peduli dan Melepaskan Penting?
Dalam kehidupan modern, kita sering kali terjebak dalam kekhawatiran tentang hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan: opini orang lain, kesuksesan finansial, atau peristiwa global. Stoikisme mengajarkan bahwa dengan “tidak peduli” pada hal-hal eksternal dan “melepaskan” keterikatan pada hasil, kita dapat mencapai ketenangan batin (ataraxia). Manfaat utama meliputi:
-
Ketenangan Emosional: Dengan fokus pada apa yang bisa dikendalikan, kita mengurangi stres dan kecemasan.
-
Ketahanan Mental: Amor fati dan premeditatio malorum membantu kita menghadapi kegagalan atau kemunduran dengan lebih kuat.
-
Kehidupan yang Bermakna: Dengan mengutamakan kebajikan dan mengabaikan hal-hal sepele, kita hidup sesuai dengan nilai-nilai yang benar-benar penting.
-
Kebebasan Batin: Melepaskan keinginan untuk mengendalikan segalanya memberi kita kebebasan dari tekanan sosial dan ekspektasi.
Posting di X pada Maret 2025 menyebutkan bahwa Stoikisme membantu pengguna mengatasi “kecemasan media sosial” dengan mengabaikan komentar negatif dan fokus pada tindakan nyata, menunjukkan relevansi prinsip ini di era digital.
Penerapan Stoikisme di Era Modern
Stoikisme sangat relevan di abad ke-21, di mana kita dihadapkan pada tantangan seperti:
-
Tekanan Media Sosial: Prinsip dichotomy of control membantu kita mengabaikan validasi online dan fokus pada tindakan bermakna.
-
Ketidakpastian Ekonomi: Amor fati mendorong kita untuk menerima fluktuasi keuangan sebagai bagian dari kehidupan dan mencari peluang di dalamnya.
-
Stres Pekerjaan: Memento mori mengingatkan kita untuk memprioritaskan waktu dengan keluarga dan tujuan pribadi, bukan hanya karier.
-
Konflik Sosial: Berlatih kebajikan seperti keadilan membantu kita menangani konflik dengan empati dan integritas.
Contoh Penerapan:
-
Di Tempat Kerja: Jika atasan mengkritik Anda secara tidak adil, gunakan dichotomy of control untuk fokus pada peningkatan kerja Anda, bukan tersinggung oleh kritik.
-
Dalam Hubungan: Jika pasangan bertengkar, praktikkan premeditatio malorum untuk tetap tenang dan cari solusi, bukan bereaksi emosional.
-
Di Media Sosial: Ketika melihat posting yang memicu iri atau kemarahan, ingat memento mori dan tanyakan, “Apakah ini akan penting dalam jangka panjang?”
Menurut The School of Life, Stoikisme telah diadopsi oleh tokoh modern seperti Bill Gates dan Arnold Schwarzenegger, yang menggunakan prinsip-prinsip ini untuk tetap fokus di tengah tekanan publik.
Tantangan dalam Menerapkan Stoikisme
Meskipun Stoikisme menawarkan panduan yang kuat, ada beberapa tantangan:
-
Miskonsepsi Apatis: Banyak yang salah mengartikan Stoikisme sebagai tidak memiliki emosi, padahal ini tentang mengelola emosi dengan bijaksana. Stoik tetap merasakan kesedihan atau sukacita, tetapi tidak membiarkannya mengendalikan.
-
Konsistensi: Menerapkan prinsip seperti amor fati membutuhkan latihan harian, yang bisa sulit di tengah rutinitas sibuk.
-
Budaya Konsumerisme: Dunia modern mendorong keterikatan pada materialisme, yang bertentangan dengan Stoikisme. Mengatasi ini memerlukan perubahan pola pikir yang signifikan.
-
Konflik Sosial: Mengabaikan opini orang lain bisa dianggap arogan, jadi penting untuk menyeimbangkan detachment dengan empati.
Untuk mengatasi tantangan ini, mulailah dengan langkah kecil, seperti meditasi Stoik selama 5 menit setiap hari, dan bergabung dengan komunitas Stoikisme online seperti Daily Stoic untuk dukungan.
Dampak dan Relevansi Stoikisme
1. Dampak Psikologis
Stoikisme memiliki kesamaan dengan terapi modern seperti CBT dan mindfulness. Studi dari University College London (2023) menunjukkan bahwa latihan Stoik seperti premeditatio malorum dapat mengurangi kecemasan hingga 20% pada individu yang rutin mempraktikkannya. Prinsip ini membantu individu mengembangkan ketahanan emosional dan fokus pada tindakan yang bermakna.
2. Pengaruh pada Pemimpin dan Profesional
Banyak pemimpin modern mengadopsi Stoikisme untuk menghadapi tekanan. Misalnya, mantan CEO Twitter Jack Dorsey menggunakan prinsip Stoik untuk tetap tenang di tengah kontroversi media sosial. Buku Meditations karya Marcus Aurelius sering disebut sebagai bacaan wajib oleh eksekutif dan atlet.
3. Relevansi di Era Digital
Di era media sosial, di mana perbandingan sosial dan kritik online merajalela, Stoikisme menawarkan alat untuk mengabaikan “kebisingan” digital. Posting di X pada Mei 2025 menyebutkan bahwa prinsip Stoik membantu pengguna “mematikan notifikasi dan fokus pada kehidupan nyata,” menunjukkan bagaimana Stoikisme menangani tantangan teknologi modern.
4. Inspirasi Global
Stoikisme telah menginspirasi gerakan self-improvement global, dengan komunitas seperti The Stoic Fellowship dan podcast The Daily Stoic menarik jutaan pengikut. Buku seperti A Guide to the Good Life karya William Irvine telah memperkenalkan Stoikisme kepada audiens yang lebih luas, menjadikannya filsafat yang hidup dan relevan.
Kesimpulan
Stoikisme menawarkan panduan abadi untuk menguasai seni tidak peduli dan melepaskan melalui prinsip-prinsip seperti dichotomy of control, amor fati, memento mori, premeditatio malorum, voluntary discomfort, dan practice of virtue. Dengan fokus pada apa yang dapat dikendalikan, menerima takdir, dan hidup sesuai kebajikan, Stoikisme membantu kita mencapai ketenangan batin dan kehidupan yang bermakna di tengah kekacauan dunia modern. Prinsip-prinsip ini, yang dikembangkan oleh filsuf seperti Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus, tetap relevan di era digital, membantu individu mengatasi kecemasan, stres, dan tekanan sosial.
Dengan menerapkan latihan Stoik seperti refleksi harian, visualisasi negatif, dan ketidaknyamanan sukarela, kita dapat belajar untuk mengabaikan hal-hal yang tidak penting dan melepaskan keterikatan pada hasil yang tidak pasti. Seperti yang dikatakan Marcus Aurelius, “Kamu memiliki kekuatan atas pikiranmu, bukan kejadian luar. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.” Stoikisme bukan hanya filsafat, tetapi cara hidup yang memberdayakan kita untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, tidak peduli apa yang dunia lemparkan kepada kita.
Sumber
-
Aurelius, Marcus. Meditations. Translated by Gregory Hays, Modern Library, 2002.
-
Epictetus. Enchiridion. Translated by Elizabeth Carter, Dover Publications, 2004.
-
Seneca. Letters from a Stoic. Translated by Robin Campbell, Penguin Classics, 1969.
-
Robertson, Donald. Stoicism and the Art of Happiness. Teach Yourself, 2018.
BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya
BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya
BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam